Sebagai salah satu kelebihan manusia dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya adalah dengan dianugerahi fitrah untuk beribadah dan melaksanakan ajaran Allah SWT. Manusia memiliki insting relgius sebagai makhluk yang bertuhan. Akan tetapi, prinsip keberagamaan sebetulnya memiliki kaitan yang erat dengan prinsip kemasyarakatan. Bagaimana seseorang bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Menurut Slamet Suyanto, perkembangan moral anak ditandai kemampuan anak untuk memahami aturan, norma, dan etika yang berlaku yang diperoleh melalui lingkungannya. Lingkungan terbagi menjadi dua, yaitu limgkungan internal dan eksternal yang mendukung terbentuknya perkembangan beragama pada seorang individu. Secara internal, fitrah beragama itu berjalan secara alamiah dan sifatnya fitrah. Artinya, setiap manusia memiliki kecenderungan untuk berkembang terkait dengan nilai-nilai ketuhanannya secara alami. Namun perkembangan tersebut tak akan terjadi manakala tidak ada faktor luar (eksternal) yang memberikan rangsangan yang memungkinkan fitrah tersebut dapat berkembang dengan sebaik-baiknya. Faktor eksternal itu adalah lingkungan dimana individu itu tumbuh. Yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Hurlock menyatakan pendapatnya bahwa keluarga merupakan Training Center bagi penanaman nilai (termasuk nilai-nilai agama). Hal ini menunjukkan bahwa keluarga punya peran sebagai pusat pendidikan bagi anak untuk memperolah pemahaman tentang nilai-nilai dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Jika melihat perkembangan murid ibu atau anak Anda yang memiliki latar belakang keluarga yang cukup baik, tetapi perwujudannya seperti bertentangan dengan sikap sehari-harinya, merupakan hal yang cukup menarik untuk dievaluasi.
Pada dasarnya penanaman nilai moral dan keagamaan harus diterapkan sesuai dengan usia. Untuk usia yang lebih kecil mungkin lebih banyak dikenalkan melalui contoh dan pembiasaan. Anak masih berada pada fase praoperasional dalam berpikir. Tahap praoperasional adalah tahap ketika anak tak dapat memahami sesuatu tanpa dipraktikkan terlebih dahulu (piaget). Menurut Jean Jacques Rousseau, anak usia dini belajar melalui aktivitas fisiknya.
Adapun metode dalam penerapannya, sebaiknya disampaikan dengan cara yang menyenangkan, tidak dengan sikap yang otoriter, apalagi jika disertai ancaman. Bukan sekadar mengenalkan cara beribadah yang sifatnya ritus, tetapi anak sebaiknya mengetahui nilai spiritual dari pembiasaan ritual yang diajarkan. Anak pada akhirnya dalam menjalankan ibadah ritusnya berdasarkan kesadaran, bukan karena paksaan. Beribadah itu bukan sekadar untuk menyenangkan orang lain, tetapi pada akhirnya harus menjadi kebutuhan pribadi.
Jadi, anak tak hanya menjalankan ritus keagamaan secara mekanis, tetapi anak akan mengerti makna spiritual keagamaan yang dijalankannya. Bahwa anak dengan berjalannya waktu dapat memiliki sikap beragama yang lebih baik, bukan sekadar pengetahuan agama yang baik. Anak akan menyadari bahwa bertingkah laku jujur, tidak mencontek, memaafkan, dan sopan santun, merupakan perwujudan sikap beragama itu sendiri. Orang yang memiliki pengetahuan agama, pada akhirnya harus memiliki tingkah laku yang baik.